Sabtu, 18 Januari 2014

TERIMAKASIH ATAS HIDUP YANG SINGKAT INI

TERIMAKASIH ATAS HIDUP YANG SINGKAT INI


Namaku Ayudia Lestari Lebih akrab dipanggil Ayu. Aku duduk di bangku kelas 7, di SMP Nusa Bakti. Aku mempunyai 5 orang sahabat yang sangat aku sayang yaitu Diah, Sari, Dewi, Wiwi dan Rina.
Hidupku ini sangat rumit. Mengapa? Kedua orangtuaku berpisah dengan alasan tak jelas. Aku tinggal bersama Mama, yang akhir-akhir ini jarang memperhatikanku akibat pekerjaannya. Juga bersama Bik Wati, pembantu rumahku. Dan aku mengidap penyakit kanker darah atau leukemia. Saat Papa dan Mama masih bersama, mereka membawaku ke dokter untuk operasi. Papa dan Mama rela menghabiskan uangnya untuk menyembuhkan penyakitku. Tapi, kanker ini sudah stadium 4, artinya sudah parah. Mereka akhirnya pasrah, dan kemudian berpisah.
Aku sedih. Kadang aku berfikir untuk tidak mau hidup di dunia ini. Tapi, aku selalu ingat pesan Oma agar tetap tabah menghadapi cobaan di dunia ini.
Senin pagi, upacara bendera dilaksanakan. Sebelum upacara, Diah melarangku mengikuti upacara sebab aku sering tidak enak badan bahkan pingsan saat mengikuti upacara. Tapi, aku bersikeras untuk ikut. Aku tak suka meninggalkan kegiatan yang berhubungan dengan negara, seperti upacara. Diah pasrah saja dan menuruti kemauanku.
Suasana upacara kali ini cukup panas, karena matahari bersinar dengan terik. Saat kepala sekolah menyampaikan amanat, kepalaku mulai pusing. Tapi, aku tetap mendengarkan amanat kepala sekolah, dan menyembunyikan rasa pusing itu. Tapi kepalaku makin sakit. Mukaku mulai pucat. Tangan kakiku dingin.
“Ayu, kamu tidak apa-apa? Mukamu pucat.” kata Diah. “Aku tidak apa-apa Diah” kataku berbohong. Kemudian, perasaanku tidak enak. Pandanganku kabur. Semuanya gelap.

Saat kubuka mataku, aku sudah ada di atas ranjang UKS. Berarti, aku tadi pingsan. Terulang lagi.
“Alhamdulillah, Ayu kamu sudah sadar” kata Rina sambil tersenyum. “Sudah kukatakan kan Yu, kamu tidak usah ikut upacara. Tapi kamu tetap ikut. Begini kan hasilnya?” kata Diah dengan nada sedikit kesal. “Diah! Jangan begitu dengan Ayu! Dia baru saja pingsan!” tegur Rina.

Aku terdiam. Aku menatap langit-langit UKS. Kemudian, aku menitikkan air mataku. “Eh Ayu, kenapa nangis? Tuh Diah, Ayu kan jadi nangis!” tanya Rina sambil mengambil tisu. “Hah? Aku kasar ya Yu? Maaf ya?” kata Diah. “Ini bukan salahmu kok Di. Salahku sendiri tidak mau mendengarmu” jawabku sambil mengelap air mata di pipiku.
“Ya sudah, Ayu sekarang kamu tidur saja ya. Aku dan Diah akan menemani kamu disini.” kata Rina lembut. “Tapi nanti kalian ketinggalan pelajaran?” tanyaku padanya. “Tidak apa. Sari, Dewi dan Wiwi bisa memberitahu kita tentang pelajaran jam sekarang. Mending, kamu tidur aja ya Yu” kata Diah. “Baiklah kalau begitu” jawabku, lalu kemudian tertidur.

Dalam tidurku, aku bermimpi. Bermimpi bertemu dengan omaku. Di mimpiku, aku memeluk oma dengan rasa sayang. Omaku memanggilku untuk tinggal bersamanya. Aku tersenyum sambil mengangguk.
Tiba-tiba aku terbangun. Di sekitarku sudah ada kelima sahabatku yaitu Diah, Sari, Wiwi, Dewi dan Rina. Sudah jam istirahat rupanya, jadi mereka menjengukku.
“Hai Ayu, sudah bangun rupanya. Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah membaik?” tanya Wiwi. “Ya Alhamdulillah sudah membaik kok” jawabku tersenyum. Aku bangun untuk duduk.
“Teman-teman, tadi aku bermimpi. Aku bertemu dengan omaku. Dan omaku memanggilku untuk bersamanya dan di mimpiku, aku mengangguk. Itu pertanda apa?” tanyaku pada sahabatku. Mereka saling memandang. Kemudian, Dewi berkata “Mungkin kamu rindu dengan omamu Yu. Dan terbawa ke dalam mimpi”. “Oh, begitu” jawabku.

KRIIINNGG!!! Bel masuk berbunyi. Aku dan kelima sahabatku menuju kelas. Aku tak ingin ketinggalan banyak pelajaran. Di kelas, teman-temanku yang lain banyak bertanya padaku tentang keadaanku. Aku menjawab, aku telah baikan. Tak lama kemudian, Bu Risma, guru Matematika datang dan memulai pelajaran.
Tepat pukul 12.30, bel pulang berbunyi. Semua murid SMP Nusa Bakti berhamburan keluar kelas untuk pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula aku. Di depan kelas, aku menunggu sahabatku. Tak lama, mereka pun datang.
“Yuk pulang!” ajak Dewi. “Aku bareng siapa pulangnya?” tanyaku. “Aku juga” tanya Sari. “Begini saja, kan aku, Rina dan Wiwi bawa motor. Aku barengan sama Ayu, Rina sama Sari dan Wiwi sama Diah. Gimana?” jelas Dewi. “Setuju!!!” kataku serempak dengan sahabat-sahabatku. “Oke, let’s go home!” seru Dewi.

Kami berenam pun pulang naik motor dibonceng oleh pasangan berbonceng masing-masing. Di perjalanan, aku sedikit takut karena takut ditilang polisi. Tapi untung saja saat tiba di rumahku, tidak terjadi apa-apa.
Di rumah, Bik Wati menyambutku. Aku menceritakan tentang tadi di sekolah. Juga tentang mimpiku. Saat mempertanyakan pertanda dari mimpiku, Bik Wati menjawab sama dengan jawaban Dewi. Tapi, aku masih tak yakin dengan jawaban itu.
Saat masuk ke kamar, aku langsung mengganti baju.
Kemudian, seperti biasanya, aku menulis di buku harian alias diaryku.
Senin, 27 Februari 2012
Dear Diary

Hari ini, aku kembali pingsan. Pasti karena penyakitku ini. Kenapa sih aku harus diberi penyakit? Aku tidak suka melihat orangtuaku yang dulu telah berusaha keras mencari cara agar penyakitku bisa sembuh, tapi hasilnya tetap sia-sia. Dan aku tau, pasti alasan mereka berpisah karena capek mengurusiku. Ya kan?
Apalagi Mama sekarang jarang memperhatikanku. Sehari saja, aku hanya bertemu 2 jam. Sungguh tak enak. Aku ingin Mama ada di sampingku menemaniku dan mendengarkan semua curhatku.
Aku berfirasat kalau umurku sudah tak lama lagi. Baguslah kalau begitu, aku tidak akan sedih lagi menghadapi hidup ini. Tapi bagaimana dengan sahabatku? Duh, aku bingung sekali!
Diary, kalau misalkan besok aku sudah tiada, bisikkan pada Tuhan ya agar Mama bisa membaca curhatan hatiku. Dan bisikkan pada Tuhan agar Papa dan Mama bertemu.

Ayudia Lestari
Malam harinya, kubuka buku diaryku. Aku membaca semua curhatan hatiku. Bila membaca hal-hal yang membuatku sedih, aku menangis. Rasanya, ini adalah terakhir kalinya aku membuka dan membaca diaryku ini. Apakah benar, aku akan pergi meninggalkan dunia ini? Aku tak tau. Aku segera terlelap dengan buku diary yang ada di tanganku.
Keesokan harinya, pukul setengah enam pagi, aku bangun dengan air mata di pipiku. Aneh sekali. Segera kuhapus dengan tisu yang ada di meja dekat ranjang. Aku kemudian segera mengambil air wudhu untuk shalat Subuh. Setelah itu, aku menunaikan shalat subuh. Setelah selesai shalat, aku turun untuk menemui Bik Wati.
“Pagi Bik!” sapaku lemas pada Bik Wati. “Pagi juga Non Ayu!” balas Bik Wati. Tiba-tiba, kurasakan sesuatu mengalir dari hidungku. Kusentuh hidungku. Darah! Aku mimisan lagi. Tak lama, kurasakan hal yang aneh, seperti ingin pingsan.
“Non Ayu! Mimisan lagi. Mukanya Non juga pucat. Non Ayu nggak apa-apa?” tanyanya sambil mengambil tisu. Aku tak menjawab karena semua kurasa berkunang-kunang, kemudian gelap.
Aku membuka mata. Di sekeliling, ada seorang dokter, dua suster, Papa, Mama, Bik Wati serta lima sahabatku. Di hidungku ada selang oksigen, dan di punggung tanganku ada jarum berbalut perban dengan selang yang menyambungkan cairan dari sebuah benda. Mereka menyembunyikan wajah sedih mereka. Aku tersenyum pucat. Dokter dan kedua suster lega, dan kemudian meninggalkan ruangan.
“Semuanya, aku minta maaf kalau buat susah kalian. Aku memang gak berguna. Kerjanya cuma bikin orang susah!” kataku sambil menitikkan air mata. “Ssst! Kamu tidak boleh berkata begitu sayang!” kata Mama dengan mata berkaca-kaca. “Pa, Ma, aku pengen Papa dan Mama itu bersatu kembali. Aku nggak suka kalau Papa dan Mama pisah” kataku. “Kalau Ayu mau Papa sama Mama bersatu lagi, Papa mau saja” jawab Papa. “Ya, Mama juga mau” jawab Mama. Aku kembali tersenyum.
“Diah, Sari, Dewi, Wiwi dan Rina. Maaf kalau aku selalu bikin kalian ketinggalan pelajaran, cuma gara-gara ngurusin aku kalau aku pingsan di sekolah” kataku pada sahabatku. “Ah, enggak kok Yu. Kita nggak papa kok ketinggalan pelajaran.
Kan bisa belajar dari teman-teman yang lain” jawab Rina. “Iya Yu. Gak papa kok!” kata Wiwi sambil tersenyum.
“Semuanya, aku rasa, sekarang waktunya aku pergi nyusul Oma di surga sana.” kataku. “Ayu sayang, kamu ngomong apa sih? Jangan ngomong macam-macam sayang!” kata Papa sambil menitikkan air mata. “Enggak Pa! Aku sudah ditunggu Oma. Dan Tuhan, terima kasih sudah sempat memberiku hidup. Mempertemukanku dengan Papa, Mama dan sahabatku yang baik. Semuanya, jaga diri baik-baik ya! Daah!” kataku.

Aku kemudian menutup mata dan menghembuskan nafas terakhir. Roh ku kemudian meninggalkan tubuhku yang kini tidak bergerak lagi. Semua di ruangan itu menangis atas kepergianku. Papa dan Mama memeluk tubuhku yang kini sudah kosong. Aku sedih melihat mereka tapi aku sudah dipanggil Tuhan. Aku pun pergi menuju surga menemui Tuhan. Selamat tinggal semuanya. Kutunggu kalian di surge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar